Minggu, 19 April 2015

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI BAB 4,5 DAN 6



BAB IV
HUKUM PERIKATAN


A.     Definisi Hukum Perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia.  perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan sistem terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari

B.     Dasar Hukum Perikatan

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.    Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.    Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih
3.    Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.


C.      Azaz-azaz dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·         Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 
·         Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
a.                    Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b.                    Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan. 
c.                    Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. 
d.                   Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.


D.     Wanprestasi dan Akibat akibatnya

a.      Definisi Wanprestasi

Perkataan “wanprestasi” berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi sangat buruk. Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim. Apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka ditawarkan bahwa ia melakukan “wanprestasi”. Ia adalah “alpa” atau “lalai” atau “bercidra-janji”. Atau ia juga “melanggar perjanjian”, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.
Wanprestasi seseorang dapat berupa empat macam :
·         Tidak melakukan apa yang disanggupi akan melakukannya.
·          Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
·         Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
·         Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat  adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut.
·         Perikatan tetap ada.
·           Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata).
·         Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
·         Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditur, sanksi atau akibat-akibat hukum bagi debitur yang wanprestasi ada 4 macam, yaitu:
·         Debitur diharuskan membayar ganti-kerugian yang diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata).
·         Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti-kerugian (pasal 1267 KUH Perdata).
·         Peralihan risiko kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata).
·         Pembayaran biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).


E.     Faktor Yang Bisa Menghapus Perserikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :

a.      Pembayaran

Nama”pembayaran” dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya. Yang wajib membayar suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan berhutang dan seorang penanggung hutang (“borg”). Menurut pasal 1322 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.

b.       Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpangan atau  penitipan

Ini adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran. Caranya sebagai berikut: barang atau uang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau uang yang akan dibayarkan itu dan pergilah ia ke rumah atau tempat tinggal kreditur, kepada siapa ia memberitahukan bahwa ia atas perintah debitur datang untuk membayar hutangnya debitur tersebut, pembayaran mana akan dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah diperinci itu. Notaries atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses verbal.Apabila kreditur suka menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara pembayaran itu. Apabila kreditur menolak yang biasanya memang sudah dapat diduga maka notaries atau juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani proses verbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya maka hal itu akan dicatat oleh notaries atau juru sita di atas surat proses verbal tersebut.

c.          Pembaruan hutang (inovatie)

Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada dua macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.

d.        Perjumapaan utang (kompensasi)

Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).

e.        Pembebasan hutang

pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.

f.        Musnahnya barang yang terutang

Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.

g.       Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan

Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

h.         Syarat yang membatalkan

Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.

i.         Batal/Pembatalan

Perjanjian-perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: 
·         Pertama, secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian di depan hakim. 
·         Kedua, secara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan di situlah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu. 

j.        Kadaluarsa

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.







BAB V
HUKUM PERJANJIAN
A.    Pengertian Perjanjian
Perjanjian dinamakan juga persetujuan atau Overeenkomsten yaitu “ suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikat kedua belah pihak “ (Wirjono Projodikoro).
Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Prof. subekti, S.H.”usatu perjanjian adalah sesuatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal” ia juga mengemukakan perjanjian itu persetujuan karena kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Dari pengertian dia atas maka bahwa periakatan adalah suatu pengertian abstrak yaitu suatu hubungan hokum, sedangkan perjanjian addalah suatu hal yang kongkret yaitu suatu perisatiwa hokum.
Dengan demikian hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menimbulkan perikatan antara dua orang atau lebih yang membuat nya, perjanjian adalah merupakan sumber perikatan disamping undang-undang. Suatu perjanjian merupakan peristiwa hokum, sedangkan perikatan adalah akibat hukumnya
·         Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
·         Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
·         Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
·         Menurut para ahli hukum,
ketentuan pasal 1313 KUH Perdata memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, (2) tidak tampak asas konsensualisme, dan (3) bersifat dualisme. Sehingga menurut teori baru setiap pejanjian haruslah berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
·         Menurut Abdulkadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Sedangkan menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengingatkan dirinya atau saling mengingatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
·         Perjanjian menurut Communis Opinio Doctorum (pendapat para ahli)
adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum, Menurut Prof. Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa ketika seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu sesuatu hal.

B.     Unsur-unsur perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hokum, dalam suatu perjanjian dikenal adanya tiga bagian atau unsure perjanjian yaitu :
·         Unsure esensialia
Yaitu bagian-bagian dalam perjanjian yang harus ada dan tertera dalam perjanjian, unsure ini umumnya di pergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian, seperti persetujuan para pihak, objek perjanjian dan harga bagi perjanjian jual-beli, sehingga unsure esensalia ini merupakan unsure yang wajib ada dalam suatu perjanjian.
·          Unsure naturalia
Yaitu bagian-bagian dalam perjanjian yang oleh undang-undang di tentukan sebagai peraturan yang mengatur, merupakan unsure yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu setelah unsure esensialnya diketahui secara pasti, unsure ini merupakan unsure bawaan dari perjanjian yang memiliki unsure esensialia, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsure esenislia jual-beli, pasti akan terdapat unsure naturaia berupa kewajiban penjual untuk menjamin tidak adanya cacat yang tersembunyi dalam benda yang di jual. Kekentuan tersebut tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual-beli menghendaki hal demikian.
·         Unsure aksidentalia
Unsure ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak karena unsure ini hanya melekat pada perjanjian jika secara tegas diperjanjikn oleh para pihak. Hokum perjanjian menganut asas kebebsan berkontrak, sehingga memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menambahkan unsure aksidentalia kedalam isi perjanjian dengan batasan asalkan tidak memuat hal yang bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.
C.    Asas-asas umum dalam hukum perjanjian
1.       Asas personalia
Asas ini dapat kita temukan dalam pasal 1315 dan pasal 1340 ayat (1) KUHpdt, pasal 1315 KUHpdt berbunyi : “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama diri sendiri atau meminta di terapkannya suatu perjanjian selain untuk dirinya sendiri” pasal 1340 KUHpdt yang berbunyi : persetujuan hanya berlaku pada pihak-pihak yang membuatnya”
Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu pasal 1317 KUHpdt yang berbunyi “ dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang di buat untuk diri sendiri atau suatu pwemberian kepada orang lain, mengandung syarat-syarat itu”
Maksud dari asas tersebut sebenarnya adalah bahwa suatu perjanjian hanyalah meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepada para pihak yang membuatnya. Apabila seseorang ingin diwakilkan oleh orang lain untuk mengadakan perjanjian maka hal tersebut harus berdasarkan surat kuasa. Asas ini disebut juga asas kepribadian suatu perjanjian
2.      Asas konsensualitas
Asas konsensualitas atau asas sepakat adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu timbul sejak detik tercapainya kata sepakat atau kesepakatan. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas, asas ini disimpulkan dari KUHpdt pasal 1320.
Asas tersebut berlau dengan pengecualian untuk perjanjian formal yang ditentukan oleh undang-undang dibutuhkan suatu formalitas tertentu, contohnya perjanjian mengenai penghibahan jika mengenai benda tak bergerak maka harus dilakukan dengan akta notaries.
3.       Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam KUHpdt pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan bahwa :”semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi meraka yang membuatnya”
Artinya para pihak diberikan kebebasan membuat dan mengatur sendiri sis perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan sesusilaa, memenuhi syarat sebagai perjanjian tidak dilarang oleh undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik, dan mereka wajib melaksanakan perjanjian yang telah merka buat layaknya undang-undang
4.       Asas kepercayaan
Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikat diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hokum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi di kemudian hari. Dengan kepercayaan ini para pihak mengikatkan dirinya maka perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
5.      Asas kekuatan mengikat
Berdasarkan pasal 1338 ayat (1) KUHpdt bahwa dipenuhinya syarat syahnya perjanjian maka sejak itu pula perjanjian mengikat bagi para pihak, mengikat sebagai undang-undang berarti pelangggaran terhadap perjanjian yang di buat tersebut berakibat melanggar undang-undang. Para pihak yang terkaitbdalam sebuah perjanjian, tidak hanya terikat terbatas pada apa yang di perjanjikan, tetapi juga pada beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
6.      Asas itikad baik
Asas itikad baik ini dapat ditemukan dalam pasal 1338 ayat (3)KUHpdt yang menyatakan bahwa :”perjanjain-perjaniajn harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Berlakunya asas ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian diklaksanakan, tetapi juga sudah mulai pada waktu perjanjian itu di buat, artinya perjanjian yang di buat dengan itikad buruk misalnya atas dasar penipuan maka perjanjian itu tidak sah dengan demikian asas itikad baik ini mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi di batasi oleh itikad baiknya.
7.      Asas keseimbangan
Asas ini menjadikan keduabelah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu, salah satu pihak yang menuntut untuk menuntut prestasi (kreditur) berhak menuntut pelunasan prestasi dari pihak lainnya (debitur), namun kreditur juga memiliki beban untuk melaksanakan perjanjianntersebut dengan itikad baik, jadi kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
8.      Asas kepatutan dan kebiasaan
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHpdt yang menegaskan bahwa :”perjanjian tidak hanya mengikat pada hal-hal yang di atur di dalamnya tetapi juga terhadap ha-hal yang menurut sifatnya di harusakan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang.

D.    Syarat sah perjanjian
1.      Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata,
 ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
·         Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan
·         Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1.   Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.


·         Mengenai suatu hal tertentu
Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
·         Suatu sebab yang halal
Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.
E.     Jenis perjanjian
  • Jenis Perjanjian
            Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan Hukum Perdata perjanjian memiliki 14 jenis, diantaranya adalah:
·         Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
·         Perjanjian Cuma-Cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
·         Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
·         Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.
·         Perjanjian tidak bernama (Onboemde Overeenkomst)
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya.
·         Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
·         Perjanjian Obligator
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak
·         Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).
·         Perjanjiaan Riil
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
·         Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada(Pasal 1438 KUHPerdata).
·         Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yangberlaku di antara mereka.
·         Perjanjian Untung-untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
·         Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama(co-ordinated).
·         Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian di dalamnya.

F.     Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.




G.       Pembatalan Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat Hukum
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

H.    Isi dan Hapusnya Perjanjian
            Isi perjanjian pada dasarnya adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak. Menurut pasal 1347 KUH Perdata, elemen-elemen dari suatu perjanjian meliputi, (1) isi perjanjian itu sendiri, (2) kepatutan, (3) kebiasaan, (4) Undang-Undang.
            Sedangkan hapusnya perjanjian berbeda dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Suatu perjanjian akan berahir (hapus) apabila :
1.      Karena pembayaran.
2.       Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat.
3.      Pembaharuan hutan
4.      Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik.
5.      Percampuran hutang.
6.      Pembebasan Hutang.
7.      Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian.
8.       Pembatalan Perjanjian.
9.      Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan.
10.   Lewat Waktu.









BAB VI
HUKUM DAGANG
A.     Pengertian Hukum Dagang
Apa yang dimaksud dengan hukum dagang? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya di kemukakan di sini bahwa selain istilah hukum dagang dalam berbagai kepustakaan, ditemui juga istilah hukum perniagaan. Apabila di telusuri secara seksama apa yang dibahas dalam kedua istilah tersebut, yakni hukum perniagaan dan hukum dagang, pada dasarnya mengacu pada norma-norma yang diatur dalam KUHD. Sedangkan dalam KUHD sendiri tidak di jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum perniagaan dan hukum dagang. Dalam pasal 1 KUHD hanya disebutkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan kasus maka beelaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab undang-undang ini.
Dari apa yang dijelaskan dalam pasal 1 KUHD di atas, dapat diketahui bahwa keterkaitan antara hukum perdata dan hukum dagang demikian erat. Keterkaitan ini dapat dilihat apa yang dijabarkan dalam KHUPdt khususnya Buku III tentang perikatan. KUHD sendiri dibagi dalam dua buku yaitu buku pertama tentang dagang pada umumnya (pasal 1-308) dan buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran (pasal 309-754). Tidak diberikannya defenisi apa yang dimaksud dengan hukum dagang, barangkali pembentuk undang-undang berasumsi rumusan atau defenisi hukum dagang sudah tercantum dalam pengertian perdagangan atau bisa juga asumsinya rumusan tentang hukum dagang diserahkan pendapat para ahli hukum sendiri.
Oleh karena itu, untuk memahami makna hukum dagang, berikut dikutip berbagai pengertian hukum dagang yang dikemukakan oleh para ahli hukum yaitu sebagai berikut:
1) Achmad Ichsan mengemukakan:
Hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan.

2) R. Soekardono mengemukakan:
Hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan yang diatur dalam buku III Burgerlijke Wetboek (BW) dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPdt. Hukum dagang dapat pula dirumuskan adalah serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu lintas perdagangan.

3) Fockema Andreae mengemukakan:
Hukum dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari atuaran hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan. Di Belanda hukum dagang dan hukum perdata dijadikan satu buku, yaitu Buku II dalam BW baru Belanda.

4) H.M.N. Purwosutjipto mengemukakan:
Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.

5) Sri Redjeki Hartono mengemukakan:
Hukum dagang dalam pemahaman konvensional merupakan bagian dari bidang hukum perdata atau dengan perikatan lain selain disebut bahwa hukum perdata dalam pengertian luas, termaksud hukum dagang merupakan bagian-bagian asas-asas hukum perdata pada umumnya.

6) J. van Kan dan J. h. Beekhuis, mengemukakan:
Hukum perniagaan adalah hukum mengenai perniagaan adalah rumpunan kaidah yang mengatur secara memaksa perbuatan-perbuatan orang dalam perniagaan. Perniagaan secara yuridis berarti, membeli dan menjual dan mengadakan berbagai perjanjian, yang mempermudah dan memperkembangkan jual beli. Dengan demikian, hukum perniagaan adalah tidak lain dari sebagian dari hukum perikatan dan bahkan untuk sebagian besar hukum perjanjian.

7) M. N. Tirtaamidjaja mengemukakan:
Hukum perniagaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang yang turut melakukan perniagaan. Sedangkan perniagaan adalah pemberian perantaraan antara produsen dan konsumen, membeli dan menjual dan membuat perjanjian yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjulan itu. Sekalipun sumber utama hukum perniagaan adalah KUHD akan tetapi tidak bisa dilepaskan dari KUHPdt.

8) KRMT. Titodiningrat mengemukakan:
Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang mempunyai aturan-aturan mengenai hubungan berdasarkan atas perusahaan. Peraturan-peraturan mengenai perusahaan tidak hanya dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan juga berupa Undang-Undang di luarnya. KUHD dapat disebut sebagai perluasan KUHPdt.

9) Ridwan Khairandy (dkk.) mengemukakan:
Sebagai akibat adanya kodifikasi hukum perdata dalam KUHPdt dan hukum dagang dalam KUHD, maka di negara-negara yang menganut hukum sipil (kontinental) termaksud Indonesia dianut bahwa hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata. Lebih tegas lagi dikatakan bahwa hukum dagang merupaka hukum perdata khusus. Dalam kepustakaan hukum anglo saxon atau common law khususnya anglo american, hukum bisnis bukan merupakan cabang atau bagian tunggal hukum tertentu.
a.      Hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata
Hukum dagang dan hukum perdata adalah dua hukum yang saling berkaitan. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 1 dan Pasal 15 KUH Dagang.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.
Berikut beberapa pengertian dari Hukum Perdata:
1. Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
2. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
3. Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .
Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
  • Hukum tertulis yang dikodifikasikan :
-Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K) 
-Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
  • Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pasal 1 KUH Dagang, disebutkan bahwa KUH Perdata seberapa jauh dari padanya kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini.
Pasal 15 KUH Dagang, disebutkan bahwa segala persoalan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan oleh kitab ini dan oleh hukum perdata.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi (mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.

b.      Berlakunya Hukum Dagang
Perkembangan hukum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) . tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi.
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan.
Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan . KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran.

c.       Hubungan antara pengusaha dan pembantu – pembantunya

Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya. Seorang yang menjalankan suatu perusahaan, terutama perusahaan yang besar, biasanya tidak dapat bekerja seorang diri, dalam melaksanakan perusahaannya ia perlu bantuan orang-orang yang bekerja padanya sebagai bawahannya maupun orang yang berdiri sendiri dan mempunyai perusahaan sendiri dan mempunya perhubungan tetap maupun tidak tetap dengan dia
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :

1.      Membantu didalam perusahaan
Yaitu mempunyai hubungan yang bersifat sub ordinasi ( hubungan atas dan bawah sehingga berlaku suatu perjanjian perburuhan, misalnya pemimpin perusahaan, pemegang prokurasi, pemimpin filial, pedagang keliling, dan pegawai perusahaan



2.      Membantu diluar perusahaan
Pengusaha-pengusaha kebanyakan tidak lagi berusaha seorang diri, melainkan bersatu dalam persekutuan-persekutuan atau perseroan-perseroan yang menempati gedung-gedung untuk kantornya dengan sedikit atau banyak pegawai. Kemudian dibedakanlah antara perusahaan kecil, sedang dan besar. Pada tiap-tiap toko dapat dilihat aneka warna pekerja-pekerja seperti para penjual, penerima uang, pengepak, pembungkus barang-barang, dan sebagaiinya. Dan kesemuanya tersebut telah ada pembagian pekerjaan, sebab seorang tidak dapa melaksanakan seluruh pekerjaan.

Dalam menjalankan perusahannya pengusaha dapat:
  • Melakukan sendiri, Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.
  • Dibantu oleh orang lain, Pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan dan merupakan perusahaan besar.
  • Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan, Hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan merupakan perusahaan besar
Hubungan hukum yang terjadi diantara pembantu dan pengusahanya, yang termasuk dalam perantara dalam perusahaan dapat bersifat :
a. Hubungan perburuhan, sesuai pasal 1601 a KUH Perdata
b. Hubungan pemberian kuasa, sesuai pasal 1792 KUH Perdata
c. Hubungan hukum pelayanan berkala, sesuai pasal 1601 KUH Perdata

d.      Kewajiban pengusaha
Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut undang-undang, ada 2 macam kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengusaha yaitu ;
1. Membuat pembukuan
2. Mendaftarkan perusahaannya
Pengusaha adalah setiap orang yang menjalankan perusahaan. Menurut undang-undang, ada dua macam kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan, yaitu :
1.       membuat pembukuan ( sesuai dengan Pasal 6 KUH Dagang Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan ), dan
di dalam pasal 2 undang-undang nomor 8 tahun 1997 yang dikatakan dokumen perusahaan adalah terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya.
·         dokumen keuangan terdiri dari catatan ( neraca tahunan, perhitungan laba, rekening, jurnal transaksi harian )
·         dokumen lainnya terdiri dari data setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung denagn dokumen keuangan.
2.      mendaftarkan perusahaannya ( sesuai Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Wajib daftar perusahaan ).







DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar